Indonesia yang Lebih Mandiri

June 28, 2014

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyayangkan sumber daya energi yang dimiliki Indonesia banyak dikuasai asing. Alhasil, kemandirian energi sulit terwujud. “Masyarakat belum bisa menikmati kemakmuran dari kekayaan sumber daya alam yang kita miliki,” ujar anggota BPK Ali Masykur Musa kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Menurut dia, sulit terwujudnya kemandirian energi nasional karena selama ini pengelolaan sumber daya alam nasional banyak didonimasi oleh perusahaan asing. Ali mengungkapkan, saat ini asing menguasai 70 persen pertambangan minyak dan gas (migas), 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah, 85 persen tambang tembaga dan emas, serta 50 persen menguasai perkebunan sawit.[1]

Minyak dan gas bumi merupakan aset Indonesia yang sangat berharga. Jika diolah dengan baik, Indonesia bisa mendapatkan kekayaan berlimpah dari penjualan migas tersebut. Namun faktanya, Indonesia belum bisa mengolah minyak dan gas bumi tersebut dengan baik. Selain kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni, perusahaan-perusahaan Indonesia juga tergolong kekurangan modal untuk mengolah minyak dan gas bumi yang dimiliki Indonesia. Sehingga justru, pengolahan minyak dan gas bumi hampir 70% jatuh ke tangan asing.

 Salah satu contoh perusahaan migas asing di indonesia yaitu Chevron. Perusahaan yang berkantor pusat di California, Amerika Serikat ini berhasil memperoleh laba bersih sebesar $25,2 milliar pada tahun 2012. [2] Sebuah angka yang sangat fantastis, apalagi jika laba tersebut kita hitung dalam satuan rupiah. Namun, berapa persenkah Indonesia menikmati laba bersih tersebut? Faktanya, Indonesia tidak menerima begitu banyak dari laba bersih tersebut. Hampir semua keuntungan tersebut kembali lagi ke Amerika Serikat. Kenyataan yang sangat miris mengingat bahwa Indonesia lah yang sebenarnya memiliki migas tersebut. 

Perusahaan asing memang banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia. Dan dengan kata lain, mereka ikut berpartisipasi dalam mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Tetapi di lain sisi, tenaga kerja itu bekerja untuk asing dan bukan untuk Indonesia. Tenaga kerja profesional yang direkrut oleh perusahaan asing tersebut secara tidak langsung membantu menghasilkan laba yang fantastis untuk asing. Padahal kita adalah pemilik “asli” dari kekayaan tersebut, tetapi justru kekayaan itu jatuh ke pihak asing.   

Namun, bukan berarti semua ini adalah kesalahan pihak asing. Pemerintah sebagi regulator perekonomian dapat mengatasi masalah ini dengan cara lebih memperhatikan perusahaan nasional yang bergerak di bidang migas. Pemberian subsidi adalah salah satu contohnya. Dengan adanya pemberian subsidi, diharapkan perusahaan kecil dan menegah di Indonesia dapat survive  karena sudah mendapatkan dana yang memadai. Selain itu, perusahaan tersebut juga harus bisa bersaing dengan perusahaan asing dengan memberikan produk yang lebih kreatif dan menarik, sehingga daya saing produk nasional tidak akan kalah dari produk asing. Produk-produk yang dihasilkan harus memiliki ciri yang khas atau unik, sehingga konsumen akan lebih tertarik untuk membeli produk tersebut dibandingkan produk lain. Kita bisa mengambil contoh produk-produk yang dihasilkan oleh China yang sekarang sudah sangat sering kita temukan di pasaran. Dari segi kualitas, produk China memang kalah dari produk buatan Korea (contohnya handphone) atau produk negara lain. Namun, produk China ditawarkan pada tingkat harga yang rendah, sehingga dapat dijangkau oleh semua golongan masyarakat. Oleh karena itu saat ini China menjadi salah satu negara yang berkembang sangat pesat.

Fakta bahwa sumber daya manusia kita sangat tertinggal dibanding negara maju juga suatu faktor yang tidak bisa kita remehkan begitu saja. Rata-rata tenaga kerja di Indonesia hanyalah lulusan sekolah menengah atas, bahkan masih banyak juga yang pendidikan akhirnya dibawah sekolah menengah atas. Sehingga pada akhirnya, mereka hanya bisa bekerja sebagai buruh atau “pekerja kasar” di perusahaan asing.Walaupun beberapa perusahan asing menjanjikan upah yang tinggi, namun “pekerja kasar” tersebut diharuskan untuk melakukan pekerjaan yang sangat berisiko yang bahkan bisa merenggut nyawa mereka, seperti kutipan berikut “Pada 14 Mei 2013, terowongan fasilitas pelatihan tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia runtuh. Akibatnya, diperkirakan 34 pekerja terjebak dalam reruntuhan terowongan yang terletak di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, itu.Freeport Indonesia mencatat 10 korban luka dan 11 korban jiwa hingga saat ini...[3]

Di era modern seperti sekarang ini, sumber daya alam bukan lagi faktor produksi yang memberikan banyak kontribusi untuk majunya suatu negara, namun faktor sumber daya manusia adalah faktor produksi paling penting penentu majunya suatu negara. Lihat saja Amerika Serikat. Dari segi sumber daya alam, Amerika Serikat sangat jauh tertinggal dibanding Indonesia, namun Amerika Serikat adalah salah satu negara maju di dunia. Amerika Serikat bisa menjadi negara maju karena mereka memiliki sumber daya manusia yang sangat memadai dibandingkan dengan Indonesia. Sumber daya manusia yang memadai akan “dihargai lebih mahal” dibanding sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia, Indonesia harus lebih serius menangani berbagai permasalahan di bidang pendidikan. Tidak boleh lagi ada anak-anak Indonesia yang putus sekolah hanya karena tidak memiliki biaya. Apalagi, anak anak yang harus menyebrangi sungai tanpa jembatan yang memadai hanya untuk pergi ke sekolah. Wajib belajar bukan lagi hanya 9 tahun, tetapi minimal harus 12 tahun. Karena, lulusan sekolah menengah atas saja sekarang ini sudah sangat kesulitan untuk mencari pekerjaan, apalagi yang hanya lulusan sekolah menengah pertama atau dibawahnya ?

Pemerintah juga harus lebih selektif lagi dalam memberikan izin untuk perusahaan asing yang akan mengolah sumber daya alam Indonesia. Pemerintah harus lebih teliti lagi dalam “menyeleksi” perusahaan asing yang akan berdiri di Indonesia. Tidak semata-mata hanya karena perusahaan tersebut menghasilkan profit yang besar, tapi yang paling penting adalah seberapa besar kontribusi mereka untuk kekayaan negara kita? Jangan sampai kekayaan sumber daya alam kita justru hampir semua jatuh ke tangan asing. Kebijakan yang dibuat, jangan hanya difikirkan untuk jangka pendek saja. Harus diperhatikan juga bagaimana dampak kebijakan tersebut untuk jangka panjangnya.

Tergolong sulit memang untuk lepas sepenuhnya dari bantuan asing. Mereka memiliki modal dan sumber daya yang sangat Indonesia butuhkan. Tanpa kedua faktor produksi tersebut, sumber daya di Indonesia hanya sia-sia saja. Namun, jika Indonesia terus menerus bergantung pada pihak asing, kapan Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri? Ketergantungan pada pihak asing sangat merugikan untuk Indonesia. Jika mereka mengalami krisis ekonomi, kita akan ikut terkena imbasnya. Atau jika ada masalah-masalah ekonomi yang lain melanda mereka, kita akan ikut terkena dampaknya. Oleh sebab itu, mulai dari detik ini, Indonesia harus “belajar” untuk menjadi negara yang lebih mandiri. Karena pada akhirnya, negara yang mandiri akan menjadi negara yang lebih maju dibanding negara lainnya.

Source : [1]

Hello folks! Okay so what do you think with this blog new display? I do really hope you will like it *grins* and fyi this essay is the essay i ever submitted to P5 and Alhamdulillah, i won the best essay that day.. Okay my holiday has been started so i promise i will write more in my holiday *giggles* So.. see you in my next post!  

You Might Also Like

0 comments