90 Hari yang Lalu di Stasiun

June 23, 2018

Hari ini di sepanjang jalan di Kota Jinhae dipenuhi oleh bunga-bunga sakura yang bermekaran. Seluruh kota nampak berwarna merah muda. Termasuk juga di Stasiun Kyeong-Wha. Di sepanjang stasiun dipenuhi oleh pemandangan bunga sakura yang indah.
            Hari pertama musim semi yang cerah di Stasiun Kyeong-Wha.
            Namun hatiku tidak secerah itu.
            Air mataku mengalir, lagi.
            “Maafkan aku, Na.”
            Aku tidak akan pernah bisa memaafkannya.
            “90 hari lagi, di tempat ini, pada waktu yang sama. Aku akan kembali.”
            Menurutmu aku bisa percaya itu?
            Dalam hitungan detik bunyi kereta datang dari kejauhan terdengar. Beberapa orang terlihat bergegas bersiap-siap untuk masuk ke dalam kereta.
            Begitu juga dia.
            “Sampai jumpa lagi Na. Aku mencintaimu.”
*
            Berulang kali aku menghela nafasku. Sudah lebih dari satu jam aku menunggu disini. Padahal jam kedatangannya  tidak secepat itu, hanya saja aku sudah terlalu merindukannya dan aku tidak ingin datang terlambat menyambutnya.            Stasiun Kyeong-Wha masih dipenuhi oleh bunga sakura yang sangat indah. Namun sebagian diantaranya telah gugur, berguguran tepat di sepanjang rel kereta.
            Hari terakhir musim semi.
            Pikiranku masih dipenuhi oleh isak tangis temanku yang bercerita soal meninggalnya pacarnya saat dia sedang wajib militer kemarin. Dia memang tidak sedang wajib militer, namun sama saja. Dia juga sedang berada di medan pertempuran. Antara hidup atau mati.
            Aku takut itu terjadi padanya. Pada pria yang menjadi salah satu alasanku untuk tetap hidup.
Selama 90 hari ini aku telah menunggunya tanpa berita yang dapat membuat kondisiku jauh lebih baik. Padahal aku benci menunggu. Karena aku takut hasil penantian ku selama ini tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Pria itu sedang berjuang untuk mempertahankan negara ini, namun aku egois. Aku tidak bisa merelakannya pergi begitu saja, walaupun itu untuk negara ku sendiri.
            Suara kedatangan kereta mulai terdengar. Aku menatap ke arah kedatangan kereta tersebut dengan perasaan yang tidak menentu. Tanpa aku sadari air mata mulai mengalir dari kedua mataku. Rasanya aku tidak siap. Aku tidak siap menerima kenyataan yang mungkin saja terjadi padaku.
            Satu per satu penumpang kereta mulai keluar dari kereta. Satu orang, dua orang, tujuh orang, begitu seterusnya. Aku masih menunggu sampai sepuluh menit kemudian.
            Mengapa dia.. tidak ada?
            Pikiranku kalut. Aku terduduk, lututku rasanya lemas. Air mataku tak dapat berhenti mengalir dari kedua bola mataku. Aku tertunduk, meratapi bagaimana aku akan hidup selanjutnya.
            Bunga sakura mulai berguguran. Angin berhembus pelan, menerbangkan sebagian bunga sakura itu, bersamaan dengan harapanku yang tidak akan terwujud.
            Aku memaksakan diriku untuk berdiri, berusaha untuk menyeka air mataku yang tidak juga berhenti mengalir. Rasanya nyawa ku lepas entah kemana. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Aku merasakan setiap orang yang lewat menatapku namun aku tidak peduli. Hanya ada satu orang yang memenuhi pikiranku. Dan dia--
            “Kim Nana!”
            DEG.
            Saat aku menoleh ke sumber suara itu rasanya waktu berhenti sejenak. Aku terpaku. Rasanya butuh waktu lama untuk otak ku mencerna siapa sosok tinggi dengan pakaian militernya yang sedang melambaikan tangannya ke arah ku sambil tersenyum.
Mataku membelalak, aku tidak percaya.
            Dan rasanya bunga sakura kembali berguguran dengan indahnya.
            “90 hari lagi, di tempat ini, pada waktu yang sama. Aku akan kembali.”
            Dia benar-benar kembali untukku.

-end-

You Might Also Like

0 comments